Hubungan antara Indonesia dan China adalah satu hal yang amat
penting, baik bagi Indonesia maupun untuk China sendiri. Hubungan
Bilateral Indonesia-China yang pernah membeku sepanjang pemerintahan Orde Baru,
kini makin membaik, dan bahkan China merupakan salah satu mitra yang penting
bagi Indonesia. Secara geopolitik,
posisi Indonesia sangat strategis di kawasan Asia Pasifik dan Selat Malaka.
Sedangkan secara ekonomi, Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan
sumberdaya alam dan mineral, baik di darat maupun di laut. Kekayaan alam
Indonesia yang sangat luar biasa ini jelas sangat menggoda negara-negara
industri yang sedang maju saat ini seperti China untuk menguasainya, langsung
ataupun tidak langsung. Disamping itu, dengan jumlah penduduk lebih dari 243
juta jiwa, Indonesia adalah pasar potensial bagi produk-produk negara-negara
industri.
Sedangkan China
sendiri adalah dulunya merupakan negara berkembang yang dimana pemerintahnya
masih menerapkan sistem tertutup dan belum terbuka dengan negara lainnya, akan
tetapi kini sudah berubah menjadi negara maju yang perekonomiannya terus
berkembang pesat bahkan sudah mengalahkan perkembangan negara-negara diu
kawasan Eropa, dan China sekarang adalah negara yang sangat terbuka dengan
investasi asing semenjak liberalisasi ekonomi yang dibawa pada tahun 1979 oleh
Den Xioping. Dengan menggunakan sistem open door policy atau
membuka secara luas investasi asing yang akan masuk ke China, membuat negara
ini semakin disegani dalam pertumbuhan ekonominya dan investor asing yang masuk
ke China juga semakin banyak, ini dikarenakan iklim investasi di China sangat mendukung,
dan para investor pun dipermudah birokrasinya oleh pemerintah setempat.
Kemudian juga pertumbuhan ekonmi China tidak pernah lepas dari angka dua digit,
menjadi alasan utama investor asing berbondong-bondong menginvestasikan
properti atau sahamnya di China. Cadangan devisa China pada saat ini juga sudah
mencapai 3 miliar USD mengalahkan Amerika Serikat, sehingga wajar dilihat dari
faktanya yang ada pada saat ini bahwa China sekarang ini sudah menjadi superpower baru
yang bisa menyaingi kekuatan dari Amerika Serikat terutama dalam hal
ekonominya.
Hubungan
bilateral antara China dan Indonesia terutama dalam bidang ekonomi saat ini
terus meningkat. Hal ini tercermin dari meningkatnya nilai perdagangan kedua
negara, yang pada tahun 2008 mencapai US$ 31 miliar. Dalam lima tahun ke depan,
Presiden Republik Indonesia (RI) Bapak Susilo B. Yudhoyono memperkirakan nilai
perdagangan Indonesia-China akan mencapai US$ 50 miliar. Peningkatan hubungan
bilateral tersebut, diungkapkan oleh Dubes China, tidak terlepas dari
terjalinnya Free Trade Asean-China. Selain itu, China menganggap Indonesia
adalah negara yang mempunyai potensi sangat besar. Namun untuk merealisasikan
potensi itu diperlukan penghapusan beberapa hambatan, baik dari pihak China
maupun dari pihak Indonesia. Indonesia berharap lambannya realisasi dana
pinjaman China agar bisa cepat terealisasikan sehingga bisa dioptimalkan dengan
baik oleh pemerintah Indonesia. Sebaliknya, dunia usaha China yang ingin
berinvestasi di Indonesia juga memerlukan jaminan dari pemerintah RI untuk
menghadapi risiko perubahan kebijakan pemerintah daerah.
Tampilnya
Cina sebagai kekuatan besar di dunia, dianggap bisa membantu Indonesia
mengimbangi pengaruh Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang di kawasan Asia
Pasifik. Bagi Indonesia yang menginginkan kondisi stabil di kawasan, bermitra
dengan China menjadi sesuatu yang tak terelakan sekaligus langkah strategis
bagi kepentingan nasional.
Salah satu cara untuk mempererat
hubungan satu negara dengan negara lainnya dalah dengan melakukan perdagangan
internasional. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting
dalam perekonomian setiap negara di dunia. Dengan perdagangan internasional,
perekonomian akan saling terjalin dan tercipta suatu hubungan ekonomi yang
saling mempengaruhi suatu negara dengan negara lain serta lalu lintas barang
dan jasa akan membentuk perdagangan antar bangsa. Perdagangan
internasional pada saat ini secara tidak langsung mendorong terjadinya
globalisasi, hal ini ditandai dengan semakin berkembangnya sistem
inovasi teknologi informasi, perdagangan, reformasi politik, transnasionalisasi
sistem keuangan, dan investasi. Dan ini bisa menjadi modal yang penting bagi
suatu negara untuk menarik investor masuk ke dalam negerinya untuk menanam
investasi di negarnya. Apalagi didukung dengan situasi politik yang kondusif
dan lingkungan bisnis yang kompetitif di dalam negara tersebut, maka bukan
tidak mungkin perkembangan ekonomi negara tersebut akan tumbuh semakin cepat.
Seperti halnya
hubungan antara Indonesia dan China, hubungan ini sangat lekat dengan adanya
perdagangan internasional, dan salah satu perdagangan diantara kedua negara ini
yang masih baru dan juga masih berjalan sampai saat ini adalah adanya
perdagangan bebas CAFTA (China Asean Free Trade Area).
Sejak
CAFTA diterapkan, jumlah perusahaan China yang menanamkan investasi di
Indonesia juga bertambah. Hingga akhir 2010 terdapat lebih dari seribu
perusahaan China yang tercatat di Indonesia, dengan investasi langsung mencapai
2,9 miliar dollar AS atau naik 31,7 persen dari tahun sebelumnya. Dan juga
produk-produk China yang masuk ke China juga menjadi sangat banyak dan bahkan
membanjiri pasar lokal Indonesia. Dengan harganya yang relatif murah dan juga
dari segi kualitas juga tidak kalah berbeda dengan barang-barang bermerek
lainnya, membuat produk China diserbu oleh konsumen Indonesia yang rata-rata
dalam memilih suatu produk dilihat dari harganya yang terjangkau terlebih
dahulu.
Berbagai produk nasional yang terancam akan membanjirnya produk China antara lain dalam bidang : tekstil dan produk tekstil, alas kaki, elektronika, ban, furnitur, industri permesinan, mainan anak-anak, serta otomotif. Dan akan masih banyak lagi produk-produk dari China yang akan membanjiri pasar Indonesia juga pemerintah tidak segera mengantisipasinya, dikarenakan Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial yang berada di kawasan Asia Tenggara, masyarakat Indonesia sudah terbiasa menjadi masyarakat yang konsumtif, yang hanya memikirkan untuk memilih barang semurah mungkin untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Berbagai produk nasional yang terancam akan membanjirnya produk China antara lain dalam bidang : tekstil dan produk tekstil, alas kaki, elektronika, ban, furnitur, industri permesinan, mainan anak-anak, serta otomotif. Dan akan masih banyak lagi produk-produk dari China yang akan membanjiri pasar Indonesia juga pemerintah tidak segera mengantisipasinya, dikarenakan Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial yang berada di kawasan Asia Tenggara, masyarakat Indonesia sudah terbiasa menjadi masyarakat yang konsumtif, yang hanya memikirkan untuk memilih barang semurah mungkin untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Sedangkan
bagi Indonesia sendiri, Indonesia hanya bisa mengirim bahan-bahan mentah
seperti hasil bumi untuk dijadikan komuditas ekspor ke China dalam rangka CAFTA
ini. Dimana harganya pun masih relatif murah sehingga pendapatan untuk negara
juga tidak terlaru besar. Untuk ekspor ke China sendiri yang paling dominan
adalah ekspor biji kakao. Indonesia memang dikenal sebagai penghasil biji kakao
yang baik dan juga berkualitas tinggi, tidak heran kalau sector inilah yang
menjadi andalan Indonesia untuk ekspor ke China. Akan tetapi ekspor ini bukan
tanpa halangan, karena banyak negara yang menjadi pesaing dalam ekspor produk
ini, seperti misalnya Italia dan juga Malaysia. Indonesia sendiri kini berada
dalam urutan kelima dalam pemasok biji kakao ke negara China dengan nilai USD
25,12 juta (9,63 %) pada tahun 2009[5].
Dengan
banyaknya saingan yang ada maka, ini perlu dijadikan perhatian yang serius bagi
pemerintah Indonesia yang dimana Indonesia sebagai negara berkembang harus bisa
untuk mengolah atau memilih ekspor dengan pendapatan yang cukup besar, jangan
hanya bisa mengekspor barang mentah saja, atau hasil bumi saja, paling tidak
Indonesia harus sudah bisa mengekspor barang setengah jadi bahkan barang yang
sudah jadi, sehingga pendapatan untuk negara juga semakin bertambah besar.
Karena selama ini, ekspor Indonesia didominasi produk mentah dan bahan
baku seperti biji kakao, kemudian minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan minyak mentah. Sementara itu,
impor dari China sudah berbentuk barang setengah jadi dan barang yang sudah
jadi terutama dalam bidang tekhnologi. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat (LPPM) Unika Atma Jaya, A Prasetyantoko menambahkan, ada beberapa
penyelamatan jangka pendek terkait pemberlakuan CAFTA itu, yakni perlindungan
produk dalam negeri (safeguard), program antidumping
maupun kewajiban mencantumkan produk sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI).
Menurut dia, CAFTA dalam jangka menengah memberi kesempatan untuk memacu daya
saing perekonomian domestik. Dalam jangka menengah, perlu memanfaatkan peluang
dengan mengidentifikasi sektor yang komplemen terhadap produk China, mendorong
peluang non perdagangan seperti investasi langsung untuk kapasitas produksi dan
memperbaiki logistik
Pemerintah
tampaknya tidak perlu renegosiasi perjanjian perdagangan ASEAN-China, karena
lebih menyulitkan dan membutuhkan proses lama. Karena proses negosisasi
ini sendiri bukan hanya Indonesia saja yang terlibat, akan tetapi Negara-negara
ASEAN juga harus ikut terlibat, karena perdagan bebas ini melingkupi
keseluruhan negara-negara Asia Tenggara. Menurut Anggito Abimanyu seorang
pengamat ekonomi Perjanjian CAFTA yang disepakati menteri perdagangan
ASEAN-China, ada tiga. Pertama, CAFTA tetap
dilanjutkan dan tidak ada rencana notifikasi karena kerugian akibat kecurangan
perdagangan (unfair trade). Kedua, bila suatu
negara mengalami defisit, negara surplus harus mendorong impor. Ketiga, pembentukan tim pengkajian terhadap perdagangan
bilateral. Bila memang ada kerugian akibat perdagangan bebas, maka membutuhkan
biaya mahal dan proses panjang untuk membuktikan hal tersebut. Selain itu,
kesepakatan bukan hanya dengan China tapi juga dengan negara ASEAN.
KESIMPULAN
Hubungan
antara Indonesia dan China yang sebelumnya sempat kurang baik dan tidak terlaru
dekat pada era rezim orde lama kini berangsur membaik dan bahkan sekarang menjadi
mitra dagang yang cukup strategis, salah satu perwujudan dari hubungan mitra
dagang yang baik antara China dan juga Indonesia adalah dengan adanya CAFTA
(China ASEAN Free Trade Area) yang dimana CAFTA ini sebenarnya dimulai ketika
era Megawati namun itu hanya pondasi awal, dan implementasi yang nyata dari
perjanjian CAFTA itu dimulai pada 1 januari 2010. Pada awal dimulainya CAFTA
ini, Indonesia sudah diresahkan dengan membanjirnya produk-produk China di
pasaran lokal, yang membuat pengusaha dalam negeri kita kewalahan dan bahkan
ada yang gulung tikar, dan ini merupakan hal yang sangat harus diperhatikan
oleh pemerintah, yang dimana pemerintah harus bisa melindungi masyarakatnya
dari serbuah produk-produk asing. Oleh karena itu perlu pemerintah harus mengkaji
benar manfaat dan juga kerugian yang di dapat dari CAFTA ini, karena kalau
tidak secepatnya diantisipasi bukan tidak mungkin pasar lokal akan diisi penuh
oleh produk China dan pengusaha lokal hanya bisa tertunduk lesu dan melihat
took-tokonya tutup gulung tikar.
[1] http://www.bappenas.go.id/node/116/2468/hubungan-bilateral-indonesia---china-terus-meningkat-/.m Artikel
yang diakses pada tanggal 2 April 2012
[3] http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/04/13/07372828/ACFTA.Bisa.Menguntungkan.
Artikel yang diakses pada tanggal 1 April 2012
[4] http://www.antaranews.com/berita/268898/indonesia-bisa-perluas-pasar-ekspor-china.
Artikel yang diakses pada tanggal 1 April 2012
[5] Departemen
Perindustrian. 2009. “Roadmap Pengembangan Industri Kakao”. Direktorat
Jendral Industri Agro dan Kimia, Jakarta.
[6] http://bisnis.vivanews.com/news/read/216778-enam-sektor-paling-rawan-serbuan-produk-china.
Artikel yang diakses pada tanggal 2 April 2012
[7] http://iqbalmanjada.blogspot.com/2012/04/kerjasama-ekonomi-indonesia-china-dalam.html